Branda

TUGAS INI MENIPUKU

Saat kelas lima SD, aku pernah mempunyai tugas dari seorang Guru, dia memberikan tugas untuk merangkum lima BAB sekaligus dari mata pelajaran tertentu yang terdiri lebih dari 80 halaman dengan batas waktu satu minggu. 

Memberi hormat pada Sang Saka Merah Putih seharian penuh adalah bentuk hukuman bagi mereka yang tidak dapat menyelesaikan tugas tersebut, Sungguh, sebuah ancaman.

Teman sekelasku yang lain, mereka juga menunjukan berbagi ekspresi tidak biasa pada raut wajahnya. Ada yang menghela napas tak percaya, ada yang malas dan tak peduli, ada juga yang kesal dengan memperotes keputusan Guru tersebut. Untuk memudahkan dalam pengerjaannya, aku dan teman sekelas membentuk beberapa kelompok yang setiap kelompok terdiri dari tiga sampai lima orang.

Hari pertama, kami begitu bersemangat ketika melakukan tugas tersebut hingga melewatkan jadwal bermain bersama. Dua, dan tiga hari selanjutnya, masih tetap mempertahankan semangat membara dalam menggoreskan pena.

Hari keempat dan kelima, mulailah berkurang nama-nama yang datang, dan rasa malas mulai menghantui setiap orang, meskipun begitu, kami terus memaksakan diri untuk dapat menulis, meski tulisan kami hampir sama seperti tulisan Apoteker dan Dokter yang sering terlihat pada bungkus dan resep obat. Khusunya tulisanku yang lebih mirip dengan kode-kode morse dan brailey sehingga tak dapat terbaca oleh mata manusia.

Hari keenam dan ketujuh, entah karena alasan apa, tapi aku dan kedua teman sekelompokku berhasil menyelesaikan tugas yang menguras tenaga itu tepat waktu. Dan hari ini, hari di mana waktu untuk mengumpulkan tugas tersebut akhirnya tiba. Aku dan kedua teman sekelompokku tersenyum puas serta penuh kepercaya diri dikarenakan kami berhasil menyelesaikan tugas tepat waktu.

Saat melihat sekeliling, aku dapat melihat beberapa dari mereka menundukan kepala dan memeriksa buku catatan yang terlihat masih kosong. Ada juga dari mereka yang masih sibuk berkumpul dan menulis dengan terburu-buru, begitu juga dengan kedua teman sekelompokku yang mulai absen sejak hari keempat. Mereka masih terlihat sibuk sama seperti yang lainnya.

"Ahh ....!" Aku menghela napas lega. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi, sebentar lagi Guru pasti akan datang. 

"Aku tidak sabar ingin melihat mereka dihukum, pasti sangat menyenangkan," ucapku pelan, sambil tersenyum sendiri seperti orang gila. Dan benar saja, tak lama setelah itu mulai terdengar suara langkah kaki mendekat dari lorong dan anak tangga.

"Tolong, duduk semuanya!" ujar Bu Guru, sambil duduk di kuris yang dikhususkan hanya untuknya.

Mereka yang tadinya berkumpul dan penuh bising, mulai duduk di kursinya masing-masing, dan mulai hening. Ada sekelompok orang yang tersenyum jahat ketika melihat mereka yang menundukan kepala dikarenakan takut dihukum disebabkan oleh tugasnya yang belum selesai. Tentu, aku termasuk ke dalam kelompok yang tersenyum jahat itu.

Setelah selesai berdoa, Guru itu mulai membuka mulutnya berbicara dengan cukup tegas, "Baiklah, cepat keluarkan tugas minggu kemarin!"

Aku menyeringai, melihat ekspresi teman-temanku yang begitu gugup ketika maju ke depan saat nama mereka dipanggil. Setelah menunggu cukup lama, Akhirnya, giliranku tiba juga. Aku maju ke depan dengan kepercayaan diri tinggi, berfikir akan mendapatkan nilai A+ atau bisa saja A paling tidak. Seperti kata pepatah, "Usaha tidak akan mengkhianati hasil." Hatiku berbunga-bunga hanya dengan memikirkannya saja.

Eh ... tapi ketika aku menyerahkan tugasku kepada Bu Guru, sesuatu yang di luar nalarku terjadi begitu saja. Butuh beberapa menit, mungkin tidak sampai 10 menit untuk Guru itu dapat membaca keseluruhannya.

Sungguh, kecepatan membaca yang menakjubkan. 

Maksudku, bayangkan saja. Aku berusaha mati-matian untuk dapat menyelesaikan tugas ini dan itu masih membutuhkan waktu satu minggu penuh, meskipun disebut rangkuman, tapi aku masih menghabiskan 50 halaman lebih untuk dapat merangkum keseluruhan materi tersebut.

Entah aku yang terlalu bodoh, sehingga memerlukan waktu satu minggu untuk dapat membaca keseluruhannya, sedangkan Guru itu dapat membaca keseluruhan isinya hanya dalam beberapa menit saja.

Sungguh hebat, hingga aku ingin bertepuk tangan dengan sangat keras dan melompat-lompat bahagia di tengah lapangan upacara sambil memujinya, dan berteriak sekuat tenaga, "Sunguh hebat, aku ingin bisa sepertimu!"

Dengan ekspresi bodoh, aku pun mengambil buku catatanku itu, dan segera kembali ke tempat dudukku. Aku mulai membuka buku catatanku itu, di sana terdapat tulisan, (A-) dengan ukuran cukup besar bertinta merah terletak di pojok kiri atas. Meskipun tidak sesuai dengan ekspetasiku, tapi aku masih cukup bangga sehingga senyuman kemenangan tercetak jelas di wajahku. 

Tiba-tiba saja, terasa seseorang dari belakang menepuk bahuku dengan cukup keras. Aku pun menoleh sambil bertanya, "Ada apa?"

"Lihatlah, NILAI MILIKKU!" katanya dengan senyuman lebar dan penuh penekanan. 

Aku pun mengambilnya dan melihat dengan seksama. Tulisannya memang sangat rapi, meskipun begitu, dia hanya menulis lima halaman saja, hingga aku ragu bahwa satu BAB pun dapat ia tuntaskan. Hanya saja, bagaimana bisa? Apa-apaan nilai tinggi ini? Aku bahkan sampai meragukan penglihatanku sendiri. Aku mulai menggosok-gosok mataku, berharap apa yang kulihat hanyalah patamorgana, tapi seberapa banyak pun aku menggosok mataku ini, nilai itu tetap tidak berubah. Pasalnya, nilai yang dia dapat adalah (A+). 5 halaman, dan dia berhasil mendapatkan nilai tertinggi, sedangkan aku yang menulis 40 halaman lebih, hanya mendapat nilai (A-). 

Aku mulai berpikir bahwa Guru ini sedang mengerjaiku. Kalau memang seperti itu, aku akan mengatakan kalau dia berhasil membuatku terkejut, sampai-sampai aku ingin tertawa dengan sangat keras seperti orang gila sambil mengatakan bahwa itu semua tidaklah lucu.

"Bagaiman?" tanya temanku itu dengan sombongnya. Aku hanya menyerahkan kembali bukunya itu dengan sangat kesal.

"Bu, kenapa nilai saya lebih kecil, daripada dia yang belum menyelesaikan semua tugas?" tanya seorang siswa yang berada di bangku paling depan sambil menunjuk ke arah teman sebangkunya. Bagus, cepat semuanya bertanya sehingga nilai kita bisa lebih baik. 

Aku lupa bagaimana jawaban Bu Guru saat itu, tapi aku ingat jelas bahwa ia mengatakan, "tulisannya lebih baik dan rapi ketimbang tulisanku."

Kami tidak diberitahu bahwa ada penilaian seperti itu, memang benar tulisanku sangat jelek, meskipun begitu, perjuanganku adalah nyata. Setidaknya berilah nilai yang setimpal untuk satu minggu usahaku itu. Bahkan dalam lomba saja kita selalu diberi tahu tentang kriteria penilaian sehinga jelas dan transparan. Beberapa siswa terus bertanya pertanyaan yang sama dan dibalas dengan jawaban yang sama pula.

Aku tersenyum mengejek diri sendiri. Pepatah mengatakan bahwa, "jangan menilai buku dari sampulnya." Tapi kebanyakan orang pasti lebih tertarik pada tampilan luar tanpa peduli akan isinya. Bila penampilan itu sangat penting melebihi semua faktor-faktor lain, kenpa tidak menyatakan bahwa hanya dengan berpenampilan menarik kau dijamin dapat sukses dalam hidup.

Ah ... aku sekarang bahkan ragu untuk bisa menikah bila penampilan adalah segalanya. Karena sepertinya nilai kami tidak akan bisa naik, aku pun memberanikan diri untuk bertanya, "Bu, bagaimana dengan hukuman bagi mereka yang belum menyelesaikan semua rangkumannya?"

Saat aku bertanya, beberapa siswa mulai terlihat gugup kembali, tidak terkecuali dengan teman yang berada di belakangku ini. Setidaknya aku berharap mereka akan menerima hukumannya. Setelah merenung sejenak, Guru itu mulai angkat bicara, "Karena mereka telah berusaha, meskipun belum selesai, Ibu akan memberi tambahan waktu sampai minggu depan."

Sontak beberap siswa bersorak gembira, berbanding terbalik dengan kami yang bersusah payah seminggu terakhir ini. Sebelum aku ingin mengajukan keberatan, seorang penjaga datang dan memberitahukan bahwa setiap Guru dipanggil oleh Kepala Sekolah dikarenakan akan diadakan rapat. 

Setelah Bu Guru pergi, aku mulai termenung menghiraukan beberapa siswa yang masih bersorak penuh kemenangan. Beginikah sifat manusia? Bila seorang Guru saja tidak bisa memgang omongannya sendiri, siapa lagi yang dapatku percaya? 

Perjuanganku hilang entah ke mana. Mungkin rasa kecewa ini akan bertahan lebih lama daridapa mereka yang belum menyelesaikan tugasnya itu. Dari sana, aku mulai tidak peduli apakan tulisanku bagus ataupun jelek. Bahkan, aku mulai berharap ingin tulisanku tetap jelek dan tak dapat terbaca oleh orang lain, meskipun sebenarnya keinginanku itu sudah terwujud sedari dulu.

samagusar

Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar