Hidup kok gini-gini aja, aku bosan. Waktu sudah menunjukan pukul lima sore, semua karyawan dengan gesit merapikan mejanya masing-masing. Aku pun segera membuang sampah yang berada di atas mejaku, cukup banyak makanan dengan kadar gula tinggi tercantum di setiap kemasannya. Ada baiknya aku mengurangi makanan dengan kadar gula yang tinggi mulai dari sekarang.
"Ayo pulang!" Temanku yang satu divisi berjalan keluar sambil mengajakku pergi.
Kami berdua dengan cepat turun ke lantai bawah menuju parkiran untuk mengambil motor, tempat ini tak seramai tadi pagi hanya ada beberapa motor dan mobil tersisa. Temanku mengemudi sedangkan aku mengisi tempat kosong di belakangnya dan dengan lincah kami berkendara di jalan raya.
Aku menatap ke atas, terlihat langit cerah dihiasi warna jingga yang memanjakan mata. Aku tak pernah bosan ketika melihatnya, meskipun terus kutatap di waktu yang sama, kenapa? Karena aku menyukainya, serasa dapat terbang bebas dari sangkar yang selama ini menahanku.
Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya aku sampai di depan pintu. Setelah mengucapkan, "Terima kasih." Aku pun segera membuka pintu, mengganti baju, dan merapikan seragam kerja untuk dikenakan besok.
"Haaa ...." Aku menghela napas panjang, sambil menatap lekat-lekat pada bajuku itu. Sepertinya kebanyakan orang sekarang hidup di dalam lingkaran setan yang disebut dunia kerja ini. Dua belas jam dari sekarang, aktivitas monoton itu akan kembali aku jalani. Inikah hidup orang dewasa?
Aku tertawa mencela diri sendiri. Bila sekolah diibaratkan sangkar besi luas yang menampung berbagai jenis burung yang dicat secara paksa dengan warna yang sama, agar setara katanya. Maka, dunia kerja adalah sangkar yang lebih kecil, tapi terbuat dari emas murni. Berbagai jenis burung dengan warna dan karakter berbeda terdapat di dalamnya dengan sayap terlipat yang tak memungkinkannya tuk dapat terbang bebas. Jangan salahkan kami bila susah beradaptasi, bukankah kami dicat secara paksa dengan warna yang sama, sehingga syok yang kami terima. Jadi, salahkan kami bila tak bisa mencerna arti kata berbeda?
Setelah selesai mengganti baju, aku lekas mengambil segelas air putih guna menyegarkan tonggorokanku yang kering. Aku keluar, duduk termenung di depan teras rumah, mengingat kembali tempat kerja yang sulit terlupakan, empat dinding putih seakan tembok tebal yang memisahkan tempat itu dari dunia luar.
Aku mulai berpikir, mungkin seperti inilah perasaan seekor burung yang menghabiskan sisa hidupnya di dalam sangkar. Aku yakin bila burung itu bisa berbicara makan dia akan berkata, "Sungguh membosankan."
Aku jadi teringat kata Bob sadino, beliau pernah mengatakan, "Kamu ini bangun pagi, mandi, pamit kerja, pake seragam, kaki dibungkus sepatu, berangkat pagi pulang malam, bayaran gak seberapa, Kerja apa diKERJAIN?"
Sangat lucu, mungkin benar bahwa kita selama ini nyatanya sedang dikerjain oleh tumpukan kertas di atas meja dan tugas yang hanya bisa dipatuhi, inginnya berontak, tapi kita takut disuruh menjauh dan menggatungkan kemaja lusuh itu.
Berbagai macam pertanyaan mulai terpikirkan olehku seperti, "Apa sih tujuan hidupku selama ini? Pencapaian apa yang ingin aku raih? Adakah hal yang sangat aku inginkan? Terus sukses tuh apa sih?" Untuk pertama kalinya dalam dua puluh satu tahun ini, aku mengalami krisis identitas dan tujuan hidup.
Di saat seperti ini, manusia biasanya memerlukan tanggapan dari orang lain, berharap mereka dapat menjawab semua pertanyaan yang bahkan ia sendiri pun tak tahu apa. Hal ini menggambarkan dengan jelas betapa tak berdayanya manusia sebagai seorang individu.
Aku mengambil smartphone yang tersimpan di dalam saku, mencari kontak temanku dan langsung kutekan icon panggilan segera. Setelah beberapa kali berdering, akhirnya diangkat juga.
"Halo!" kata pertama yang selalu dikeluarkan ketika menelpon pun terdengar.
"Halo!" Balasku singkat.
"Ada apa, tumben lo nelpon dijam segini?" Itu merupakan pertanyaan yang wajar mengingat kami hanya berkomunikasi di hari libur saja dan itu pun tak terlalu sering.
"Gak ada apa-apa, gimana kabar lo, baik?" Sudah satu minggu lebih kami tidak saling berkomunikasi. Setelah basa-basi cukup lama, mengetahui kabar satu sama lain, akhirnya sampailah kami pada topik utama.
"Gini, tujuan hidup lo apa sih? Adakah hal yang sangat ingin lo dapatkan? Menurut lo sukses tuh apa?" tanyaku persis seperti yang aku pikirkan tadi.
Setelah hening beberapa saat, temanku ini akhirnya kembali bersuara, "Bentar-bentar, gimana ya, gue juga gak tahu. Ahh, gelap nih."
Lah ... kenapa dia jadi sama bingungnya. Apa mungkin hal ini menjadi permasalahan yang selalu menghampiri kita ketika beranjak di usia 20-an. Tangga menuju kedewasaan ternyata lebih sulit daripada PR setiap mata pelajaran ketika Sekolah dulu.
"Ahh ... ikutan bingung gue jadinya. Gue tutup ya, nanti gue telpon balik, tunggu aja." Panggilan berakhir saat itu juga.
Aku kembali menghela napas. Nah, mungkin ini yang dinamakan bingung bersama. Aku bangkit dari tempat dudukku, kembali masuk ke dalam rumah. Sambil menunggu temanku tadi, ada baiknya aku mandi terlebih dahulu.
***
Tepat jam delapan malam, smartphone yang aku taruh di atas kasur menyala yang menandakan adanya panggilan masuk.
"Halo, bagaimana?" Aku langsung bertanya tak sabaran.
"Ya, jujur gue juga cukup bingung, tapi setelah gue pikir-pkir, gue akan jawab gini kalau ditanya." Aku mendekatkan telingaku, mendengarkan dengan seksama. Berharap akan ada hal yang dapat menjawab kegelisahanku ini.
Begitu, aku kaget ketika mendengarnya. Ternyata temanku ini menjawab dengan serius, mungkin dia berpikir lebih keras daripada diriku sendiri. Dari sana aku dipaksa menjadi pendengar. Jadi, beberapa hari lagi temanku ini akan mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Dia orang yang suka terhadap komputer, desain, dan tentu saja menggambar. Sehingga tidak aneh bila dia mengambil jurusan DKV sama seperti waktu SMK dulu. Dia mulai bercerita tentang tujuannya saat ini, tentang hal yang ingin diraihnya, dan arti sukses menurut pendapatnya.
"Ingin berguna di masyarakat dengan mengandalkan keahlian yang gue miliki," ujar temanku itu.
Aku terus diam tanpa menyela sedikit pun. Temanku yang satu ini, beranggapan bahwa desain di Indonesia masih dipandang sebelah mata dan harus diakui hal itu memang benar adanya. Profesi seperti Ilustrator, Animator, Editor, Desainer Grafis jujur, tak terlalu dihargai di Negeri ini, apalagi di kampung-kampung.
Dia ingin memperkenalkan dunia desain khususnya DKV kepada masyarakat di lingkungannya. Sehingga masyarakat di kampungnya bisa melek teknologi yang dapat membuka peluang lebih besar disegala bidang. Jujur, aku dibuat kagum, kenapa? Karena hal itu membutuhkan keberanian, tekad, usaha, dan tentunya pengetahuan.
"Pertama-tama, gue ingin dapat masuk universitas terlebih dahulu, mengasah keahlian, baru mungkin setelah itu gue tahu apa arti sukses dalam hidup ini."
Aku tersenyum lega, bukankah dia sedikit lebih hebat dariku di bidang ini. Di saat aku terus-menerus bingung sampai-sampai overthinking yang menyebabkan solusi tak kunjung aku dapat. Di sisi lain, temanku memilih untuk tak terlalu banyak berpikir dan lebih fokus pada keinginan, hasrat, dan keadaan sekitar yang mendasari tujuannya itu.
Saat ada seseorang di depan kita dan saat orang itu belok kanan secara tak sadar kita mengikutinya, saat belok kiri pun kita tetap ikut, begitupula saat dia menyebrang jalan dan naik tangga, kita masih saja mengikutinya. Okay, stop di sana, hidup ini butuh tujuan yang jelas.
Mungkin begitulah gambaran keadaan seseorang yang tak mempunyai tujuan. Ia akan mudah tersesat dan disesatkan, ia akan mengikuti jalan orang lain yang menurutnya layak dia ikuti, tapi bukankah hidup seperti itu lebih mirip zombie yang hanya bergerak ketika teman-temannya bergerak pula.
"Terima kasih!" Hanya dua kata ini yang bisa aku ucapkan untuk membalas bantuannya.
"Ya, sama-sama, bro. Lakukanlah hal yang kau sukai."
"Oke, tentu!" Panggilan pun berakhir di sana.
Aku melemparkan diriku ke atas kasur, aku mencoba tidur terlentang, memejamkan mataku yang mulai terasa berat, secercah cahaya mulai terlihat sekarang. Dengan penuh percaya diri, "Ayo lakukan!" Mungkin membutuhkan waktu lama untuk dapat mencapai tujuan, mungkin butuh waktu satu tahun, dua, tiga, atau bahkan lebih lama dari itu, tapi aku tak peduli. Aku yakin sesuatu yang susah didapat maka akan susah pula untuk dapat terlepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar