Branda

Dari balik punggung

Aku duduk di sudut meja di balik punggung siswa, terpisah satu meja jarak antara kami berdua. Aku menatap terpesona akan pipi merah yang ia punya, indah seperti biasanya.

Wulandari, namanya. Gadis cantik jelita diantara siswa tahun kedua, baik hati orangnya, selalu menyapa setiap siswa terlepas dari jenis kelamin yang mereka punya dengan senyuman sempurna yang dapat menenangkan hati, bahkan melelehkan es abadi. Setiap laki-laki pasti ingin dekat dengannya. Setidaknya, itu yang aku percaya.

Kami sudah kenal sejak lama, dari waktu masuk SMP sampai kini masa SMA, yang entah karena alasan apa kami sekelas lagi nampaknya. Tentu, aku sungguh gembira, meskipun pada awalnya aku tak ingin sekelas lagi dengannya.

Sejak SMP, ia memang cukup populer di kalangan siswa laki-laki, karena wajah polos dan senyuman milikinya itu yang dapat menggoda setiap mata buaya.

Hubungan kami berdua hanya teman biasa. Aku mengenalnya karena kami sekelas waktu SMP, kami pernah dekat di tahun-tahun pertama, tapi setelah ia disibukan dengan kegiatan Osis dan aku yang sibuk bermain bersama teman, sehingga jarang ada percakapan setelahnya. Dari sanalah tercipta jarak antar kami berdua. Tak saling menyapa, mulai acuh satu sama lain, hanya cukup tersenyum kaku bila bertemu.

Saat kami mulai naik ke kelas 8, gosip mulai tersebar akan ia yang sudah mulai punya pacar. Tadinya aku tak peduli, tapi hari ke hari terasa kosong di hati. Saat ia tersenyum dengan pacarnya itu, hatiku terasa tertusuk duri, dan ditertawakan bayi yang mencoba berdiri kemudian terjatuh tepat di luka ini.

Tak terasa kami pun sudah lulus dari SMP lalu mendaptar masuk SMA, dan betapa sialnya aku ini, dikarenakan harus mengetahui bahwa ia masuk ke Sekolah yang sama, tapi tenang saja, mungkin jurusan yang kami ambil berbeda dan saat melihat daptar siswa, aku menghela napas tak berdaya, kenapa bisa satu jurusan dengannya? Tenang saja, meskipun satu jurusan kelas bisa saja berbeda, begitulah caraku menghibur hati yang lara.

Tahun Pelajaran Baru SMA-ku pun tiba, terlihat banyak wajah bersemangat memasuki gerbang Sekolah dengan pakaian, sepatu, tas, bahkan jam tangan yang terlihat baru. 

Perlahan aku menaiki anak tangga dengan semangat menggebu menyambut teman-teman baru. Saat aku membuka pintu, kejutan tak menyenangkan kembali menyambutku. Di sana terlihat seorang gadis yang kukenal sedang duduk tersenyum kaku ke arahku. Apakah ini berkah atau kutukan? Begitulah pikirku.

Aku melangkah dan duduk di kursi yang masih terlihat tanpa pemilik itu. Setelah beberapa menit berlalu, aku mulai mendekatinya menyapa se-biasa mungkin. Dikarena kami berasal dari sekolah yang sama, dan di kelas yang sama pula, sehingga memulai obrolan bukanlah hal yang sulit, meskipun suasana canggung jelas terasa. 

Dari situlah kami mulai kembali dekat, menutup jarak yang pernah ada. Kami mulai sering bersama, baik di dalam kelas maupun di lingkungan Sekolah, bahkan terkadang kami pulang  bersama dengan obrolan-obrolan ringan tak berguna menghiasi jalan menuju rumah.

Hari-hari berlalu begitu saja, dan sesuai seperti yang aku pikirkan, di mana pun bunga di tempatkan selalu akan ada lebah, dan kupu-kupu nakal yang mendekatinya.

Mendekati akhir kelas 10, kembali mulai tersebar gosip murahan tentang dia yang gonta-ganti pacar. Mungkin itu disebabkan ia yang begitu mudahnya pacaran, dan putus di tengah jalan. Sehingga mereka mulai menyimpulkan tanpa tahu alasan, hanya dari dua atau tiga kata yang didengarnya.

Dan akhirnya, sekarang kami sudah naik ke kelas 11. Gosip murahan seperti itu masih cukup sering aku dengar, tapi dari yang kulihat dia tidak sedang dekat dengan pria manapun. Bahkan kesannya dia lebih seperti sedang menghindari ineraksi berlebihan dengan lawan jenis, tentu termasuk aku juga.

Aku kembali menatapnya dari sela di balik punggung siswa. Dia terlihat masih asik dengan percakapan teman sebangkunya. Kadang ia tersenyum, kadang tertawa dengan lentik jari indah menutupi bibir tipis menggodanya itu.

Tanpa ku sadari, ia mulai bangkit berdiri dengan senyuman cerah sempura, ia melambaikan tangan menyapa. Saat aku ingin melambaikan tangan sebagai balasannya, aku kembali menarik tanganku yang sudah terangkat setengah jalan itu.

Saat aku berpikir ia datang untuk menemuiku, ternyata itu salah. Ia melewatiku begitu saja, dan berhenti tepat di belakangku, ia mulai berbicara kepada seorang siswa laki-laki. 

"Hey, ayo satu grup denganku!" ajaknya dengan penuh Semangat.

Mungkin dia sedang membicarakan tentang membuat grup Seni Budaya, yang setiap grup harus terdiri dari tiga orang. Setahuku dia sudah membuat grup dengan teman sebangkunya itu. 

Ah ... jadi orang ketiga itu adalah dia, ya.

Ternyata alasan mengapa ia menjaga jarak dengan lawan jenis, inilah penyebabnya. Sebenarnya aku sudah tahu dari lama, hanya saja, aku tetap percaya dengan adanya peluang di masa depan, tapi itu tidak lebih dari imajinasi saja nampaknya. Aku terus menipu diri, mencoba menghibur hati dengan kebohongan manis yang menaburkan gula pada luka.


samagusar

Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar