Apa lawan dari kebahagiaan? amarah atau kesedihan. Mark Manson dalam bukunya yang berjudul Everything Is Fucked atau segala-galanya ambyar, menyebutkan bahwa lawan dari kebahagiaan adalah ketiadaan harapan, sebuah pemandangan kelabu keputusasaan dan kelunglaian.
Untukku hal ini cukup mengejutkan, pasalnya dari dulu aku merasa bahwa kesedihanlah jawabannya. Bila memang benar ketiadaan harapan adalah lawan dari kebahagiaan, maka sepertinya kita harus mengetahui makna dari harapan itu sendiri.
Mungkin kisah tentang Witold Pilecki akan sedikit menggambarkannya kepada kita. Cerita ini aku ambil dari buku yang sama.
Di usia mudanya, Pilecki telah menjadi perwira dengan banyak tanda penghormatan di Perang Polandia dan Soviet pada 1918. Setelah perang usai, Pilecki pindah ke pedesaan Polandia, menikahi seorang guru, dan hidup bahagia bersama 2 anak mereka.
Kemudian huru hara yang dibuat Nazi merebak dan sebelum Polandia sempat bersiap, Nazi menggempur separuh wilayah negara tersebut. Selagi Nazi menyerang dari barat, tentara-tentara Soviet juga tengah menyerang bagian timur. Polandia kehilangan seluruh teritorinya dalam waktu kurang sebulan.
Setelah kekalahannya, Pilecki dan beberapa perwira membentuk kelompok yang disebut secret Polish Army (Tentara Rahasia Polandia). Pada musim semi 1940 mereka mendapat kabar bahwa pemerintah Jerman tengah membangun kawasan penjara raksasa di wilayah selatan Polandia. Pilecki dan kelompoknya curiga bahwa di Auschwitzlah, di mana penjara itu berada, orang-orang yang lenyap dan ribuan bekas tentara Polandia di Sembunyikan. Inilah yang membuat Pilecki secara sukarela menyerahkan diri untuk dipenjarakan di Auschwitz.
Setelah tiba disana, Pilecki melihat realitas yang jauh lebih kejam daripada yang ia bayangkan. Secara rutin tahanan di sana akan dipanggil dan dihukum atas kesalahan sepele atau remeh dan kewajiban kerja pun sangat kejam dan dilakukan tanpa henti. Selama bulan pertamanya di sana, sepertiga penghuni baraknya meninggal akibat kecapean atau pneumonia atau ditembak. Meski begitu, hingga akhir tahun 1940, Pilecki masih bisa merancang operasi spionase.
Selama 2 tahun, Pilecki membangun sebuah unit perlawanan di dalam Auschwitz. Terdapat rantai komando, lengkap dengan jenjang-jenjang dan perwira; jaringan logistik dan jalur komunikasi ke dunia luar.
Pilecki berkali-kali memberikan pesan kepada sekutu untuk menyerang Auschwitz guna membebaskan para tahanan dari siksaan yang biadab itu. Tetapi, bantuan itu tak kunjung datang, hingga pada tahun 1943 Pilecki menyadari bahwa rencana-rencana pemberontakan dan pelarian diri yang ia rancang tidak akan terlaksana. Tidak akan ada sekutu yang membantu.
Pilecki akhirnya memutuskan inilah waktunya untuk melarikan diri, sekarang atau tidak sama sekali. Pertama-tama ia akan berpura-pura sakit, kemudian ia akan dibawa ke klinik kamp dan dari sana ia akan berkata kepada para dokter bahwa ia harus segera kembali ke unit kerjanya sebab ia kena jatah jaga malam di pabrik roti.
Ketika para dokter melepaskannya, ia akan pergi ke pabrik roti yang berada di dekat sungai dan bekerja di sana sampai jam 2 pagi. Dan ketika pabrik itu mengangkat panggangan roti terakhirnya, ia mulai beraksi, pertama-tama ia harus memotong kabel telepon, pergi menyelinap melalui jalur belakang, mengganti bajunya dengan baju penduduk hasil curian, berlari kencang sejauh 1,5 kilometer menuju sungai sambil menghindari tembakan para penjaga, dan kemudian pergi menuju ke perkampungan terdekat mengandalkan navigasi dari bintang-bintang. Kini semuanya nampak gila dan ambyar dan yang lebih gilanya lagi Pilecki berhasil bertahan di situasi mencekik tersebut.
Beberapa tahun setelah perang usai, Pilecki masih melakukan perlawanannya, bedanya kali ini lawannya adalah Partai Komunis. Dia sempat ditahan dan diperingatkan beberapa kali, hingga pada tahun 1947 Pilecki ditangkap dan disiksa hampir selama setahun, tetapi orang gila ini tetap tidak menyerah pada interogatornya. Dan sampailah pada tahun 1948 di mana ia dijatuhi hukuman mati atas berbagai tuduhan.
Pada hari pengadilannya, Pilecki diberi kesempatan untuk berbicara, ia berkata bahwa semua kesetiasaanya hanya untuk Polandia dan segenap warganya. Di bawah berbagai tekanan, Pilecki tidak pernah kehilangan harapan atas kemerdekaan yang selama ini ia perjuangkan. Dia menutup pidato heroiknya itu seperti ini, "Aku telah mencoba untuk menjalani hidupku sebaik mungkin, maka menjelang ajalku kini yang aku rasakan justru kegembiraan, bukan ketakutan."
Waktu membaca kisahnya ini, jujur saja aku terkesan oleh karakternya yang teguh serta keberanian untuk melawan penjajah negaranya. Aku sarankan untuk kalian membeli bukunya dan bacalah sendiri, dikarenakan di sini aku hanya merangkumnya sesingkat mungkin.
Melansir dari wikipedia, Harapan adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, tetapi diyakini bahkan terkadang, di batin dan dijadikan sugesti agar terwujud. Namun ada kalanya harapan tertumpu pada seseorang atau sesuatu. Pada praktiknya banyak orang mencoba menjadikan harapannya menjadi nyata dengan cara berdoa atau berusaha.
Perjuangan Pilecki hanya satu dari banyaknya kisah-kisah menakjubkan di dunia ini. Aku menulis ini sebagai pengingat supaya kita jangan pernah kehilangan harapan. Sebagai penutup, izinkan aku mengutip perkataan Mark Manson dalam bukunya itu, kurang lebih dia menulisnya seperti ini, "Dan Jika kisah Pilecki bukan hal paling dahsyat yang pernah Anda dengar, maka saya ingin tahu sebenarnya Anda sedang punya masalah apa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar