Aku baru menonton video Guru Gembul dan Mbah Sujiwo Tejo yang membahas tentang Ken Dedes. Di videonya itu, ada satu bagian yang mengatakan bahwa kecantikan wanita bisa saja merupakan sebuah kutukan. Meskipun mungkin saja hal ini dimaksudkan untuk keperluan komedi, tetapi nyatanya bukanlah omong kosong belaka, baik dalam sejarah ataupun cerita-cerita rakyat, hal ini sudah cukup sering disinggung.
Kita sebut saja Ken Dedes yang baik secara langsung maupun tidak, telah menyebabkan terjadinya pemberontakan serta kutukan yang bertahan selama tujuh generasi. Ada juga Helen yang memicu perang Troya, atau Lady Huarui yang dicintai bahkan diperebutkan oleh dua Kaisar China, ada juga Medusa yang awalnya merupakan wanita cantik, namun kemudian dikutuk oleh Dewi Athena dikarenakan ia menjalin hubungan (dalam beberapa versi ia disebutkan diperkosa) dengan Dewa laut, Poseidon, sebelum akhirnya mati dibunuh oleh Perseus. Atau ada juga Istri dari King Arthur yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Di dunia nyata pun, berapa banyak konflik yang terjadi dikarenakan kecantikan seorang wanita?
Dalam beberapa cerita atau bahkan sejarah asli, kerap kali kecantikan memang mendatangkan petaka atau kutukan. Namun, bagaimana bila sekarang kita balik, bagaimana bila bukan wanita cantik yang merupakan kutukan, tetapi kita (para pria) yang justru menyukainya, atau setidaknya sikap kitalah yang menyebabkan kutukan itu terjadi. Maksudku, wanita terlahir cantik itu bukan atas kuasanya dan meskipun semua wanita menginginkan menjadi cantik, tetap saja mereka tidak berkuasa atas itu semua. Jadi, menurutku sikap kitalah yang memanifestasikan itu menjadi sebuah kutukan.
Sifat kita yang tak bisa menolak kecantikan, sifat kita yang mudah iri, sifat kita yang mudah cemburu, dan sifat kita yang tamak, serta egois yang menginginkan segala macam hal baik hanya untuk diri sendiri lah yang menyebabkan itu semua. Sekarang, apakah benar kecantikan itu sebuah kutukan? atau justru respon kita terhadapnya lah yang menjadikan itu kutukan?
Sekalian, dikarenakan sedang membahas tema tentang kecantikan ini, aku juga ingin menyampaikan keluhan, keresahan, atau kekesalanku akan beberapa konten di sosial media.
Pernah gak melihat konten yang menunjukan perbandingan antara yang naksir dan ditaksir. Yang memperlihatkan perbedaan status, fisik, kekayaan atau apapun itu, yang ujung-ujungnya si penaksir pasti kalah; kasta rendah, miskin, jelek, dan sederet hal-hal yang membuktikan bahwa si penaksir jauh berada di bawah yang ditaksir.
Hal ini, entah kenapa menurutku aneh, bodoh, dan tak berarti. Maksudku, buat apa membandingkan diri dengan orang lain dan buat apa juga memberitahukan kekurangan yang kita miliki. Apakah mereka mengharapkan belas kasihan? atau sekadar kata-kata penghibur seperti, "enggak kok, kamu ganteng atau cantik." "Gapapa kok yang pentingkan tulus." Ini, apakah mereka mengharapkan jawaban seperti ini?
Masalah ini sebenarnya tidak ada hubungannya denganku, namun sebagai seseorang yang suka menulis dan terasa gatal apabila tidak aku tuangkan, maka ya … beginilah hasilnya.
Okay, begini. Aku tidak mengerti orang-orang yang membuat konten seperti itu, dan terasa sulit ketika mencoba untuk mengerti pun. Maksudku, bukankah konten seperti itu memperlihatkan kerendahan diri, ketidak percayaan diri. Alih-alih mengharapkan belas kasihan, kenapa kita tidak memperbaiki diri saja. Bila kita merasa tidak cukup pantas, mengapa kita tidak berusaha membuat diri kita pantas untuk yang kita taksir. Setidaknya, menyerah dan menyadari kelemahan serta kekurangan adalah hal yang patut diacungi jempol. Daripada sekadar membuat konten yang tidak ada artinya, yang mengharapkan belas kasihan, dan memperlihatkan ketidak percayaan diri serta kebodohan.
Ya … Begitulah. Maaf kalau kata-kataku terlalu kasar dan maaf juga bila ada yang tersinggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar