Branda

Apakah Kita Layak Mengeluh

Layakkah kita untuk mengeluh?




Pertanyaan ini, pada awalnya, mungkin terdengar tidak pantas. Sebagian akan menganggapnya sebagai tanda kelemahan, sebuah ratapan dari seseorang yang terlalu larut dalam perasaan menjadi korban. Namun, apakah benar demikian? Apakah mengeluh selalu berarti menyerah?

Kita adalah generasi yang tumbuh dalam pusaran badai, lahir di antara tahun 1997 hingga 2012, sering disebut sebagai Gen-Z. Sebutan seperti mental tempe atau strawberry generation—generasi yang dianggap rapuh—seringkali menghantui kita. Namun, di balik stereotip tersebut, ada narasi lain yang sering terabaikan: realitas kehidupan yang telah membentuk kita sejak kecil.

Bayangkan ini: saat kita masih belajar mengenal dunia, kita telah dihadapkan pada krisis ekonomi global 2008. Dunia belum benar-benar pulih ketika pandemi COVID-19 datang pada 2019, membawa ketidakpastian yang meluas ke segala aspek kehidupan. Kita tumbuh di tengah perubahan teknologi yang luar biasa, menyaksikan kemajuan yang menakjubkan, tetapi juga dihantui oleh krisis iklim, konflik sosial, bencana alam, peperangan, bahkan genosida.

Dunia ini, bagi kita, bukan hanya tempat untuk bermimpi, tetapi juga lautan yang penuh ombak tantangan. Harga rumah terus melambung, pajak meningkat, dan ruang hidup semakin sempit akibat overpopulasi. Di sisi lain, tekanan sosial terus bertambah, dari tuntutan untuk menjadi produktif secara ekstrem hingga ancaman pekerjaan yang digantikan oleh kecerdasan buatan (AI). Tak jarang, kecemasan ini berkumpul menjadi perasaan yang begitu berat, sebuah ledakan dalam pikiran yang sulit ditenangkan.

Namun, mari berhenti sejenak. Mengeluh bukan sekadar tindakan pasif; ia bisa menjadi bentuk kesadaran. Ketika kita mengeluh, kita sebenarnya sedang memberi suara pada rasa sakit, ketidakadilan, atau keresahan yang membutuhkan perhatian. Tapi, apakah itu berarti kita hanya perlu berhenti di sana? Tentu tidak.

Mengeluh, pada dasarnya, hanyalah awal dari sebuah perjalanan refleksi. Dari sana, kita dapat bertanya lebih jauh: apa yang bisa kita ubah? Apa yang masih mungkin kita perjuangkan? Dan, apakah keluhan kita mampu menjadi pijakan untuk bertindak, bukan hanya sekadar pelarian?

Pada akhirnya, pertanyaan “Apakah kita layak mengeluh?” tidak bisa dijawab dengan mutlak. Setiap dari kita harus menemukan jawabannya sendiri, berdasarkan pengalaman, harapan, dan perjuangan yang kita jalani. Mengeluh, jika dimaknai dengan benar, bukanlah kelemahan. Ia adalah pengingat bahwa kita masih peduli, masih ingin memperjuangkan sesuatu yang lebih baik.

Jadi, saat kita bertanya pada diri sendiri, “layakkah aku mengeluh?” mari ingat: mungkin, keluhan itu adalah awal dari keberanian untuk melangkah lebih jauh.

Terima kasih telah membaca dan merenung bersama.








samagusar

Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar